Jumat, 29 November 2013

Sejarah situ cikaret

     Situ Cikaret adalah Situ terbesar di kecamatan Cibinong, yang juga merupakan cadangan air bagi warga sekitar sampai ke aliran wilayah Cilodong - Depok - DKI Jakarta.
Situ Cikaret terletak diantara 3 (Tiga) batas kelurahan yaitu sebelah utara Kelurahan Harapan Jaya, sebelah selatan Kelurahan Pakansari, dan sebelah Barat Kelurahan Tengah.

 Alkisah pada zaman dahulu kala terjadinya danau atau Situ Cikaret disebabkan oleh tanah yang terkikis oleh air hujan yang mengendap lalu membentuk kubangan air  dan membusukkan tanaman liar, terak-kotak kecil lalu menjadi sawah atau empang, terjadilah mata air (pusaran).
Setelah air semakin banyak dan sulit dibendung menjadi rawa, maka masyarakat secara bergotong royong membuat tanggul untuk menahan air yang semakin sulit diatasi, dibuatlah tanggul besar jadilah sebuah jalan setapak yang lama kelamaan menjadi jalan warga beraktifitas menuju ladang untuk bercocok tanam hingga menjadi jalan desa.
Masyarakat menyebut jalan tersebut dengan nama HR kepanjangan dari nama Haji Rojali seorang petani jambu klutuk (batu) dan palawija, yang mengeraskan jalan menggunakan batu-batu kecil dari jalan raya Jakarta-Bogor (lampu merah cikaret) sampai keperkebunan jambunya (sekarang RSUD Cibinong) hingga dapat dilalui kendaraan mobil/truk untuk mengangkut hasil perkebunannya, akhirnya kendaraan rakyat dengan nama angkutan pedesaan (mobil kuning/mobil odong-odong pintu belakang) keluar sebagai kendaraan rakyat menuju pasar Cibinong.

Dengan seiring berjalannya waktu, jalanpun mengalami perbaikan dan pelebaran hingga pada tahun 1997 kecamatan Cibinong ditetapkan menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Bogor yang sekarang masyarakat menyebutnya dengan nama PEMDA, hingga sekarang jalan tersebut menjadi jalan alternatif ke arah Pemkab Bogor dan Kota Depok.
Konon menurut Kirata (di kira-kira tapi nyata), cerita rakyat masyarakat sekitar situ Cikaret. Disaat pembuatan tanggul tersebut banyak kejadian-kejadian aneh atau ganjil seperti terkuburnya atau terperosoknya warga yang bergotong royong saat membuat tanggul hingga 4 orang warga menjadi korban (tumbal), diceritakan bahwa warga yang terkubur di tanggul tersebut adalah ada orang fakir yang menipu para mbah (orang sakti) untuk mengambil mustika (pedang emas) didalam lubang (tanggul) maka orang-orang sakti ini memburunya, setelah orang-orang sakti lubang ditimbunlah ke 4 (empat) orang tersebut, ada juga sedekah bumi yang dilaksanakan setiap tahun dengan menguburkan kepala kerbau, yang pada awal kisahnya dimulai dari tuan tanah Cilodong Depok (merupakan aliran/anak sungai) hingga membuat ancak/sesaji sebagai rasa syukur kepada sang pencipta atas hasil bumi yang melimpah, tetapi tidak ada upacara/ritual khusus, hanya syukuran/selamatan yang dipusatkan di Balai Desa dengan menikmati makanan bersama warga.

Menurut cerita masyarakat (orang-orang tua dulu) tersebut menjadi cerita rakyat yang melegenda hingga sekarang. Nama-nama seperti mbah Muridin (dari Makasar), mbah Tolok(asli Cikempong Totogan) mbah Elong (dari Cirebon), mbah Jenggot (asli Cikaret) & R. Antena Wijaya (Banten) adalah orang-orang sakti mantan kerajaan Pajajaran yang merupakan sosok yang selalu hadir bila dipanggil dengan mantera khusus (hanya sesepuh setu yang bisa melakukan itu) mereka menampakkan wujudnya menyerupai manusia dengan pakaian serba putih/jubah, layaknya orang yang bertamu ke rumah orang yang dianggap pintar/sesepuh (Kuncen) dengan memberi kabar bahwa mereka terganggu keberadaannya bila ada event atau acara besar di sekitar wilayah Situ Cikaret, biasanya sesepuh langsung membuat sesajen (ancak) dengan segera di sepanjang pinggir Situ dengan menaruhnya di pepohonan sampai ke aliran sungai yang membelah perkampungan.
Dibawah pusaran air Situ Cikaret konon ada istana kerajaan makhluk alam ghaib penunggu Situ yang dapat di jelajahi oleh kuncen Situ (sesepuh) melalui alam bawah sadar dengan penjagaan istana yang amat ketat, dengan pakaian kerajaan lengkap.
Mitos yang berkembang disetiap pojok Situ Cikaret, penunggunya adalah Mbah Gagu, Mbah Ma'un (pojok pabrik), ibu RA Kartini (pojok jembatan masuk PU), Raden Abdul Muthalib (pojok PTC), Raden Surya Kancana, Rojok Koret, Rojog Odeng, Mbah Elong (pojok Nek Menah).Pusaran air (lembu) yang dapat merubah wujudnya dengan benda unik dan menarik perhatian yang melihatnya, ada juga ikan yang dipancing terdapat keganjilan seperti ikan mas berwarna kuning / biru maka pertanda akan minta tumbal, ikan lele besar atau ikan gurame botak yang berkedip seperti manusia maka harus dilepas kembali ke Situ, karena kalau tidak orang tersebut akan celaka seperti kecelakaan, sakit atau kesurupan bila mereka terganggu keberadaannya.
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan maka pengunjung Situ Cikaret di mohon dengan sangat untuk menjaga ketertiban, kesopanan dan tidak berbuat sekehendak hati walau mata kita melihat tapi sesungguhnya buta, buta dengan keberadaan alam ghaib maka dengan penuh bijak mari kita peliharan kelestarian alam Situ Cikaret.

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, di pinggir jalan tersebut telah berdiri perumahan, ruko dan pabrik. Sungguh disayangkan di lokasi tersebut dahulu ada petilasan   Prabu Siliwangi yang dikenal masyarakat sekitar dengan nama Munjul (tanah yang tinggi/bukit kecil yang dikelilingi pepohonan rindang) ada juga anak sungai/hulu yang alirannya menuju sawah/pertanian warga di kampung Kramat.
Masyarakat memanfaatkan Situ Cikaret sebagai ladang usaha mencari nafkah seperti menjala ikan, mengurung ikan (mengkong), mancing atau menjaring ikan yang hasilnya dikonsumsi sendiri atau langsung dijual.
Menurut data dari kantor Pengelola Sumber Daya Air (PSDA), luas permukaan Situ Cikaret pada tahun 2006 sekitar 25 Ha dan pada tahun 2007 mengalami pelebaran menjadi 29.50 Ha karena ada pengerukan oleh Kementerian Pemukiman, tapi pada 2008 mengalami penyempitan kembali menjadi 18.91 Ha dengan keliling 3,325 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar